Selasa, 20 April 2010

SEPENGGAL ASA NELAYAN TRADISIONAL MALAYAYANG II

SEPENGGAL ASA NELAYAN TRADISIONAL MALAYAYANG II

…. Kalo dorang so tambung ini pante, kong mo kamana lei torang mancari….???

Kalimat diatas terlontar dari mulut Pak Sudirman Hililo manakala menyaksikan pantai yang selama ini menjadi tempat sandaran hidup akan direklamasi oleh pengembang. Sebanyak 41 KK tinggal dan berprofesi sebagai nelayan tradisional kini terancam kegiatan tersebut.

Aktifitas reklamasi yang masif di teluk Manado ini, juga mengancam ribuan nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya atas sumber daya laut. Keinginan pemerintah Kota Manado untuk memodernisasi kota ini diimplementasikan dengan kebijakan-kebijakan yang membuat nelayan tradisional yang bermukim disepanjang pesisir teluk Manado harus tersingkir. Sebagian dari mereka malah harus beralih profesi menjadi buruh lepas di mal-mal dan ruko-ruko yang di bangun diatas tempat yang dulunya menjadi tambatan perahu mereka.

Sejarah Singkat Perkampungan Nelayan Tradisional Malalayang II
Pada awalnya di tahun 1924, lokasi ini merupakan milik dari seorang suster berkebangsaan Belanda yang menjadikan lokasi ini sebagai rumah sakit bagi penderita kusta, beberapa keluarga dari penderita kusta ini kemudian mulai menempati lokasi ini pada tahun 1960an. Seiring waktu berjalan, lokasi ini kemudian menjadi perkampungan dengan semakin banyak warga masyarakat yang tinggal dan berprofesi sebagai nelayan. Pada Tahun 1988 Gubernur Sulut pada waktu itu mengeluarkan Surat Keputusan pembagian lokasi ini yang seluas 7,2 ha menjadi 5 bagian. Namun sayangnya masyarakat yang telah tinggal di lokasi ini tidak termasuk didalamnya.

Meskipun berulang kali mendapat tekanan dari berbagai pihak, masyarakat yang ada tetap bertahan tinggal di tempat yang selama ini mereka tempati. Berbagai upaya terus dilakukan untuk mengeluarkan masyarakat dari lokasi tersebut diantaranya adalah pada tahun 1996 (oleh pemerintah Propinsi Sulawesi Utara) masyarakat dipaksa keluar dan juga harus menandatangani kwitansi kosong yang katanya untuk ganti rugi. Namun sebagian besar masyarakat yang ada menolak menandatangani kwitansi tersebut. Setahun kemudian, secara tiba-tiba pada tahun 1997 keluarlah HGB (Hak Guna Bangunan) yang mengklaim lokasi tersebut hingga dipinggiran pantai sampai wilayah laut.
Tahun berganti tahun tekanan yang dialami masyarakat terus berlanjut seolah tak berkesudahan. Tahun 2004 masyarakat kembali dipaksa menerima uang yang disebut-sebut sebagai ganti rugi, namun warga tetap pada pendiriannya. Tahun 2006 warga dibujuk untuk menerima uang 1 juta rupiah sebagai imbalan untuk mengosongkan lokasi tersebut tetapi sebagian besar warga menolak kecuali untuk 5 kepala keluarga yang menerima dan merekapun akhirnya pindah.

Forum Nelayan Pesisir Pantai Malalayang II

Sadar bahwa perjuangan untuk mendapatkan hak atas kehidupan yang layak tidak bisa dihadapi sendiri-sendiri, masyarakatpun berinisiatif untuk membentuk satu wadah perjuangan yang mereka namai sebagai Forum Nelayan Pesisir Pantai Malalayang II (FNPPM II). Organisasi ini kemudian menjadi perwakilan masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Pada Kongres Nelayan Tradisional Sulawesi Utara yang diselenggarakan pada tanggal 31 Maret – 2 April 2009, FNPPM II resmi menjadi anggota Asosiasi Nelayan Tradisional (ANTRA) Sulawesi Utara. FNPPM II juga terlibat aktif pada penyelenggaraan kegiatan Forum Nelayan untuk Keadilan Perikanan (Forum for Fishery and Marine Justice) yang diselenggarakan pada bulan Mei 2009 di Manado. Di bawah organisasi ini, telah ditempuh beberapa langkah seperti aksi-aksi masa hingga hearing di DPRD baik Kota Manado sampai Provinsi Sulawesi Utara dan telah dilakukan berulang kali. Hasil-hasil dari hearing yang dilakukan akhirnya melahirkan beberapa rekomendasi diantaranya adalah pembatalan HGB.

Walaupun telah mendapat rekomendasi pembatalan, pemegang kuasa HGB tetap tidak bergeming. Tahun 2008 sejumlah warga yang dianggap sebagai pimpinan masyarakat dilaporkan ke Polsek Malalayang oleh pemegang kuasa HGB karena melakukan penyerobotan tanah. Namun berkat persatuan warga yang ada, kasus tersebutpun tidak dilanjutkan.

Beberapa waktu kemudian pada bulan Agustus 2009 mulai terjadi aktifitas penimbunan pantai dekat pemukiman warga. Aktifitas ini termasuk rencana reklamasi hingga pantai tepat di depan areal pemukiman. Wargapun melakukan perlawanan dengan aksi pemblokiran jalan masuk alat-alat berat dan melaporkan pelaku reklamasi ke pihak berwenang termasuk kepolisian.

Pada tanggal 16 September 2009 kembali dilakukan hearing di DPR Kota Manado dengan menghadirkan pihak-pihak terkait (Masyarakat, Pemegang Kuasa HGB, BPN propinsi Sulawesi Utara dan Dinas Tata Kota Manado). Kesimpulan saat itu akan dilakukan pengkajian data-data dan dokumen terkait masalah reklamasi sebelum dibuat keputusan lebih lanjut. Ternyata pada hari yang sama pihak Dinas Tata Kota Manado yang juga hadir pada saat hearing tersebut mengeluarkan surat pengosongan tempat pemukiman warga.

Sepenggal Asa Nelayan Tradisional Malayayang II

Hingga saat ini masyarakat belum mendapatkan kepastian status lokasi tersebut. Perjuangan untuk mendapatkan kepastian menjalani hidup dengan tenang belumlah usai. Memang bukanlah hal yang mudah meski tentu saja bukan pula suatu yang tak mungkin diwujudkan bagi mereka. Perjalanan panjang yang berliku masih terbentang didepan mata bagi nelayan tradisional Malalayang II untuk menata kehidupan yang lebih baik.

Penulis :
Yahya Laode
Sekretariat Daerah Asosiasi Nelayan Tradisional SULAWESI UTARA
(ANTRA SULUT)
Januari 2010

Minggu, 18 April 2010

SISTEM PENGAMANAN LAUT DINILAI LEMAH

Polkam / Jumat, 16 April 2010 23:27 WIB

Metrotvnews.com, Jakarta: Ketua Bidang Pertahanan Keamanan dan Hubungan Internasional DPP PDI Perjuangan, Andreas H. Pareira, mengkritik sistem pengamanan laut Indonesia yang dinilai sangat lemah dalam perlindungan terhadap berbagai aksi pencurian ikan oleh nelayan asing.

"Pencurian ikan secara massive oleh nelayan sejumlah negara, termasuk yang terakhir diberitakan sebuah harian nasional dilakukan nelayan Vietnam di Laut Cina Selatan, menunjukkan lemahnya sistem pengamanan laut kita," katanya di Jakarta, Jumat (16/4).

Doktor politik yang juga mantan anggota Komisi I DPR (bidang Politik Luar Negeri dan Pertahanan) periode 2004-2009 ini lantas mendesak pemerintah, yakni Kementerian Kelautan, TNI AL, dan Bakorkamla melalui Kementerian Koordinator Polhukam, harus segera duduk bersama untuk membenahi sistem keamanan laut.

"Pemerintah tidak boleh membiarkan kekayaan laut kita dijarah secara massive dan terus-menerus oleh nelayan-nelayan asing. DPR pun perlu memberikan perhatian khusus terhadap aspek keamanan laut untuk segera bersama Pemerintah membenahi regulasi dan wewenang kendali keamanan laut," katanya.

Termasuk di dalam, demikian Andreas Pareira, mendesaknya menyediakan anggaran yang cukup untuk peralatan dan tugas operasi keamanan laut. "Tidak bisa lagi kita mengejar para pencuri dan penjarah kekayaan kita dengan hanya bermodalkan bambu runcing kan. Artinya, Pemerintah jangan terkesan membiarkan pengamanan perairan di wilayah teritori Nusantara ini dijaga oleh para nelayan tradisional kita," ujarnya.

Pemerintah melalui berbagai instrumennya, menurut Andreas Pareira, perlu ada keperdulian dan keseriusan untuk mengatasi masalah keamanan laut dari Pulau Natuna, Pulau Miangas hingga Pulau Rote, serta Laut Arafura di Merauke sampai Laut Sabang.(Ant/BEY)